Aku Rani, keras kepala, tegas, tak kenal lelah, tekad kuat, tapi bisa
menangis tak henti-henti jika hatinya tersentuh. Aku bukan dilahirkan dari
keluarga kaya, semua serba seadanya, tapi keluargaku bersikeras jika pendidikan
dapat merubah segalanya, merubah kehidupan menjadi lebih baik. Dari tiga
bersaudara aku yang paling besar, maka tak heran ayah dan ibu membebankan masa
depan keluarga dan adik-adik kepadaku. Orangtuaku mengharapkan aku menjadi
seorang yang bekerja di bidang hukum, memiliki pekerjaan yang terikat dinas,
memiliki jam kerja teratur, libur sesuai dengan kalender pemerintah, dan
jaminan masa pensiun, mungkin jika semuanya lancar semua itu terasa
menggiurkan, tapi entah mengapa aku seakan enggan dengan itu semua, entah
darimana aku lebih tertarik dengan kebebasan, ekspresi, tanpa aturan ya… sesuatu
tentang seni.
Seni tepat dibelakang masa depan keluargaku, selalu menjadi bayangan,
bagaimanapun juga aku tidak boleh egois, mereka yang menyimpan harapan besar
dipundakku tak boleh aku sia-siakan, maka merantau di kota besar bisa jadi salah
satu pilihan untuk mewujudkan impian keluargaku,Ya, menjadi seorang pengacara
yang bertugas di pengadilan negara. Tapi bagiku menjadi pengacara merupakan
beban yang berat, dalam batinku mungkin akan berkata pantaskah orang itu aku
bela?pekerjaan yang terpaku pada aturan, jam masuk dan pulang yang sama setiap
harinya, memakai seragam yang serupa dengan teman sekantor. Fiuh…. betapa
bosannya aku bekerja setiap hari. Seperti hari-hari sebelumnya hari inipun aku masih
melamunkan tentang itu ketika guru absen tidak mengajar, hingga teman yang duduk sebangku denganku membuyarkan
lamunan itu.
Dewi: “hoyyy!!!......
melamun saja…. nanti pulang sekolah kita mau kemana?”
Rani: “emhhhh….. entahlah, kamu yang selalu punya ide”
Dewi: “kita beli
baso aweng yuu, nanti istirahat kita tak usah jajan disekolah, gmn?”
Rani: “wah ide
bagus, aku juga pengen makan makanan pedes biar otakku berkeringat”
Dewi: “hahaha bisa saja kamu, sudah semua beban tak
perlu terlalu difikirkan keras-keras, kita masih muda, terlalu banyak fikiran
akan cepat membuat kerutan, obsesi kita jadi ratu sejagad akan pudar nantinya”
Serentak kamipun tertawa, kata yang menggelitik adalah kita berobsesi
menjadi ratu kecantikan seperti yang dilantukan oleh vina panduwinata, .
Begitulah salah satu cara teman terbaikku menghiburku, memang tidak ada yang tau kalau kita berdua
sering membuat sesi pemotretan sendiri dengan memakai baju yang “aneh” dan
aksesoris segala macam, dan
bernyanyi-nyanyi depan cermin, kita bedua sadar kalau kita bukanlah
wanita yang popular disekolah, dan sering terjadi bullying oleh teman-teman atau kakak kelas yang merasa genk cantik
atau tampan dan kaya kepada siswa lain yang mereka anggap biasa. Tapi kita
berdua mempunyai imajinasi yang tinggi, suatu saat bermimpi berubah menjadi Cinderella yang
bertemu pangeran baik hati.
Semenjak masuk di Sekolah Menengah Atas ini Dewi yang paling dekat
denganku, dan entah mengapa ketika akan naik ke kelas XI dan saat itu aku
berniat masuk jurusan IPS berbeda faham dengan kedua orang tuaku, mereka
menghendaki aku masuk IPA, akupun mengalah, aku berusaha masuk IPA dan akhirnya
masuk di XI IPA 1 bertemu kembali dengan Dewi, dan semenjak itu kami duduk sebangku.
Kita berdua mengikuti organisasi yang sama dibidang seni, dan setelah pulang
sekolah kita selalu menyempatkan diri untuk pergi kesuatu tempat, entah itu
untuk membeli sesuatu atau sekedar membuang rasa penat.Kecuali untuk hari
dimana aku harus segera pulang kerumah, karena jarak rumahku lebih jauh dari
temanku itu. Dewi sama denganku, bersala dari keluarga sederhana da masuk ke
SMA Favorit karena kerja keras dan tekad yang kuat, dan diapun mempunyai
masalah yang sama denganku, semenjak masuk ke SMA ini tak pernah sekalipun
mendapatkan ranking di kelas karena kita tidak pernah konsen belajar, sama-sama
menemukan ketidaknyamanan dirumah, disekolah, dan pergaulan.
Bel pulang sekolah berbunyi, aku dan dewi bersiap-siap pulang, setelah
selesai berdo’a seperti anak lainnya kita keluar kelas. Depan pintu gerbang
sekolah, kami terpaksa berhenti karena segerombolan genk kakak kelas yang
popular akan keluar terlebih dahulu, itulah saat-saat yang menybelkan bagiku,
setiap kali harus mengalah baik untuk kakak kelas, teman sebaya, sekelas, atau
adik kelas yang popular. Beruntung hari ini jam sekolah pulang lebih awal, jadi
kami tidak akan terlalu lama pulang sampai kerumah.
Setelah 10 menit berjalan kaki, kita berdua sampai di tempat tujuan,
yaitu baso Aweng, baso yang terkenal dengan kelezatannya namun harganya pas
untuk kantong anak sekolahan tak heran kalo ditempat ini sering penuh dengan
anak sekolahan.
Dewi: “Wahh
asyikkk Aweng belum terlalu penuh cepat tempatin bangku yang itu, aku yang
pesen”
Rani: “Sipp-sipp
seperi biasa aku tanpa toge yah”
Dewi: “Oke!!”
Setelah Dewi selesai memesan ia menghampiriku dan duduk disebelahku,
dibangku kosong yang telah aku tandai dengan buku diatasnya, agar tidak ada
orang lain yang menempati bangku itu.
Dewi: “Jadi,
kenapa lagi kamu?”
Rani: “Aku hanya penat dengan kehendak orangtuaku yang
mereka bebankan dipundakku Wi, aku merasa selama ini aku bukan aku yang
sebenarnya, tapi mereka seolah tidak mau tau, aku harus jadi seperti yang
mereka inginkan”
Dewi: “Ohh begitu… aku juga tidak bisa memberikan
saran atas apa yang kamu keluhkan, sulit memang, apalagi berhubungan dengan
orangtua, aku malah belum jelas setelah keluar SMA akan kemana, orangtuaku
hanya bilang, jika aku ingin kuliah maka harus masuk di ITB soalnya disana ada
sodara yang kerja disana, jadi setidaknya bisa dapet tempat tinggal gratis dan
sedikit dana bantuan”
Rani: “Wah enak kalo kamu punya sodara disana, tapi
masuk kesana kan susah, kamu sanggup belajar mati-matian?
Dewi: “itu dia masalahnya, otakku rasanya sudah beku,
sudah menolak untuk belajar keras, saingan akan lebih banyak”
Rani: “Lah terus kalo kamu ga masuk kesana gimana?”
Dewi: “ya sepertinya aku ga akan
kuliah, aku akan mencari pekerjaan saja”
Rani: “hemffhh… tapi apa salahnya dicoba, kita ikut
aja tesnya, ku ikut tesnya juga deh,
biar kamu termotivasi hahaha”
Dewi: “hahahaha yang ada aku ga konsen ikut tes
gara-gara ada kamu, tapi tes masuknya pasti mahal”
Rani: “ohh iya juga yah hemmffffhhh”
(Pesanan baso kamipun datang)
Dewi: “sudahlah kita fikirkan lagi nanti, sekarang
kita ledakan otak kita degan pedasnya baso aweng ini”
Rani: “hahahah iyah benar juga,
ayo ayo serbu”
Kami melahap baso Aweng dengan ditambahkan sambal yang banyak hingga
bibir kami tak mampu merasakan rasa lain dari bumbu baso itu karena terkalahkan
dengan rasa pedas dari sambal itu. Hingga seragam sekolah kamipun terasa sangat
mencekik badan karena keringat yang bercucuran. Setelah selesai melahap makanan
pedas kami, kamipun segera membayarnya dan pulang kerumah masing-masing.
Kami mengendarai kendaraan angkutan umum yang berbeda, dan biasanya
akulah yang pertama kali harus menaiki angkutan umum yang membawaku sampai kerumah
karena angkot yang menuju kerumahku sangat sedikit dan jarak keberangkatannya
lama, maka Dewi selalu mengalah dan setia menemaniku sampai aku mendapatkan
angkot itu. Setelah mendapatkan angkot akupun naik dan berpamitan pulang lebih
dulu kepada Dewi.
Rani: “Kiri
depan Pak!”
(Angkotpun
berhenti)
Rani: “ini pak
uangnya”
Sopir Angkot:
“Kurang Neng, 500 lagi”
Rani: “Lah
biasanya juga tiga ribu pak kan saya osis”
Sopir angkot:
“Kalo bukan osis ya kurang seribu!”
Aku kesal karena biasanya ongkosnya memang tiga ribu, dan kesal karena
sopir angkot menagih dengan membentak dan ngotot, akupun merogok saku dan
memberikannya lima ratus. Terpaksa jatah uang untuk hari esok berkurang limaratus
gumamku.
Ketika sampai dirumah, betapa terkejutnya aku kamarku berantakan, lemari,
kasur, dan buku-buku beserakan. Tanpa sempat bertanya, ayah berkata kepadaku.
Ayah: “Kamarmu
untuk adikmu yah, soalnya adikmu sudah besar, dan harus punya kamar yang lebih
luas, jadi kamu gentian kamar dengan adikmu ya?”
Rani: “……….”
Aku tak berkata apapun, aku hanya duduk dikursi usang depan “mantan”
kamarku, dan aku rasa perkataan Ayah bukanlah pertanyaan yang membutuhkan
jawaban, tapi pernyataan yang tak dapat diganggu gugat. Kalo adikku memerlukan
ruangan besar karena dia bertambah besar, apakah aku yang sudah besar telah
menjadi kecil karena mendpata kamar yang lebih kecil? aku marah, sedih, kecewa,
karena aku selalu saja mendapatkan putusan yang sepihak, dan kamar itu
merupakan kamarku dari kecil, sejak kecil aku berbagi cerita dengan ruangan
sederhana itu. ahhhh sudahlah aku harus menerimanya…..
Sang fajar telah mulai menurunkan bahtera terangnya, waktu yang menempel
di dinding biru menunjukan pukul enam sore, untungnya aku telah selesai
membenahi kamar baruku tapi kamar bekas bagi adikku, lelah terasa, agar bisa
cepat beristirahat aku lekas mandi.
Setelah aku selesai mandi, shalat dan makan, aku masuk kedalam kamar,
disana aku berbaring di kasur yang ukurannya hanya cukup untuk badanku saja, ak
manatap langit-langit, dan kemudian mataku tertuju pada papan penutup fentilasi
diatas jendela, papan berwarna putih yang ukurannya cukup besar. Ku ambil kursi
dan kuletakkan tepat dibawah jendela, aku mengambil beberapa crayon dan pensil
warna yang warnanya telah pudar karena sering dipakai dan digunakan
bersama-sama dengan adik-adikku.
Kutorehkan garis dengan pensil warna merah sebagai garis utama, dan
warna crayon hijau yang mengitari sekeliling garis itu sebagai bayangan,
diruang kosong ku arsir dengan crayon kuning samar-samar agar terlihat penuh
dengan warna, namun tidak terlalu kontras. Setengah jam berkutat dengan itu
akhirnya aku bisa kembali berbaring dikasur sambil melihat torehan warna-warna
sederhana tadi. Aku menulis namaku sendiri disana dengan huruf Jepang. Mungkin
saja secara langsung fikiranku membawaku melakukan itu, menulis namaku disana
untuk menghiburku, untuk menunjukan pada diriku bahwa ini adalah kamarku, ini
adalah kamarku ditandai dengan huruf Jepang itu….. Kutuliskan AL MI RA NI huruf
dengan bahasa jepang hiragana.
Tulisannya... tidak rapi, maaf :( tapi kalo tulisan tegak bersambung, saya lumayan bagus :((
BalasHapus