lanjutan..
Esok hari, adalah hari minggu,
dokter anak, tentu saja libur, yang ada adalah dokter jaga., mungkin dokter
jaganya terlambat visit entah bagaimana, beliau datang ketika jadwal besuk
pasien, saya berdiri di dekat bayi, khawatir dan memastikan baik-baik saja
karena menangis semalaman.
Saya tidak banyak bertanya kepada
dokter maupun perawat, saya biarkan dokter memeriksa dahulu semua pasien,
kemudian tiba memeriksa anak saya, dengan posisi saya tetap didekat anak saya
agar dapat memonitor apa yang dilakukan dokter.
“ini anaknya kenapa?” tanya
dokter kepada para perawat yang dari tadi saya perhatikan mengekor dibelakang
dokter memberi keterangan
“bayinya bilirubin udah normal
dok, sudah bisa pulang hari ini”
“yasudah, pulangkan aja hari ini”
jawab dokter tanpa menyentuh anak saya, hanya menerima mentah-mentah apa yang
diinfokan perawat,
Saya kaget, antara senang dan
bingung, senang anak saya boleh pulang, disisi lain anak saya kok ga diperiksa
sama dokter ya? Setelah memeriksa semua pasien, dokter terlihat duduk di meja
dan memeriksa satu persatu rekam medis pasien bayi. Sayapun bertanya kepada
perawat
“teh, anak saya semalaman nangis,
kenapa ya? Saya tidur disana soalnya, jadi kedengeran” sambil saya menunjuk
ruangan sebelah
“bu,namanya juga bukan dirumah,
pasti beda suasananya, anak pasti rewel”
Mak jleb, oh begitu ya.. masuk
akal sih fikir saya tapi saya cemas saja anak saya bias menagis semalaman,
padahal sebelumnya dari pertama dirawat saya tidak mendengar bayi saya menangis
semalaman. Saya hilangkan rasa cemas, berfikirlah positif, perawat pun memanggil
saya dan suami, bilang bahwa dokter telah mengijinkan pulang, minta selimut,
dan baju bayi untuk persiapan pulang.
Alhamdulillah… sementara suami
mengurus administrasi keuangan di gedung lain (karena hari libur maka admin
ruangan bayi tdk masuk) saya bersiap-siap dan menghubungi mama dan keluarga
dirumah untuk minta dijemput. Sambil menunggu bayi dipersiapkan, tak lama
perawat memanggil suami saya, dan menyampaikan bahwa bayi kami demam, panasnya
mencapai 37 derajat, dan meminta menunggu sampai sore mudah-mudahan panasnya
turun.
Sore pun tiba, namun panas bayi
masih belum turun,. Lemaslah saya dan suami disana, keluarga pun sudah datang
siap menjemput, dan kami memberitahukan bahwa si bayi belum bisa pulang
sekarang karena masih panas. Keluarga hanya menguatkan dan menghibur kami bahwa
Insyaalloh besok pulang.
Saya dan suami masuk keruangan
perawat, dan menanyakan kondisi anak saya, saya lihat anak saya yang sudah
ditempatkan pada tempat bayi normal (di ruangan bayi tersebut, bayi yang normal
dilahirkan di RSUD dan tidak sakit ditempatkan satu ruangan dengan yang sakit)
“teh, gimana si dede? Masih
panas?”
“masih bu, ini saya lagi WA
dokter anaknya, ga ngebolehin pulang” jawab perawat sambil sibuk ngechat
dokternya
Saya inisiatif pura2 menanyakan
stok asi dan menghampiri anak saya, yang dijaga perawat,
“teh berapa panasnya?”
“ini bu, (gatau 37 gatau 35 lupa juga)” kata perawat sambil
menunjukan alat thermometer, dari tadi belum turun, saya kembali pada perawat
yang sibuk chating,
“teh, gimana kata dokternya?
Boleh engga saya nyusuin anak saya langsung, sekarang?” karena posisi anak
sudah dilepas semua alat yang nempel saya fikir ini waktu yang tepat.
“anaknya harus difototherapi lagi
bu”
Dalam keadaan yang tidak karuan,
saya langsung terfikir dengan kata “foto” dan inget pas anak saya dirontgen
pertama disini, spontan saya menjawab
“teh, emang gak apa2 anak saya di
rontgen duakali dengan waktu yang berdekatan? Apa ga ada efek negatifnya?” saya
yang tidak tahu istilah-istilah kedokteran spontan bertanya begitu, hanya saja
kakak saya yang kebetulan datang ebrniat ikut menjemput bilang bahwa org dewasa
aja kalo di rontgen ga boleh sering-sering
Dengan nada meremehkan, entah
kesal karena saya “riweuh” dan bertanya mondar mandir daritadi, perawat itu
menjawab
“bu, emang siapa yang suruh di rontgen
lagi? Bukan di rontgen bu, di fototherapi, ibu tahu ngga fototherapi itu apa?
Disinar bu?”
“ohh gitu” jawab saya singkat,
saya maklum dia berkata seperti itu tapi saya kesal juga memang, sampai saat
ini masih terbayang muka sinis perawat itu
“ini saya chat dokternya, boleh
ibu kasih asi sekarang, tapi kali ini aja ya bu karena belum penanganan” kata
perawat lain, saya masih ingat, Ibu Linda namanya, perawat tersebut ramah, beda
sekali dengan perawat lain, dan keramahan perawat Ibu Linda ini memang juga
dirasakan oleh keluarga pasien lain.
Diberikan bayi saya dipangkaun
saya, saat itu senang sekali rasanya, saya bias memeluk anak saya kembali,
menggendongnya,
“halo sayang, ini mama, ade ayo
pulang kerumah” saya menatap baik-baik wajah anak saya, mukanya putih pucat,
hanya memejamkan mata, sesekala membuka mata, tapi agak melotot dan terlihat
bola mata mungilnya dan membuat saya
terkejut adalah membuka mata sebentar tapi yang nampak hanya bola mata yang
putihnya saja, seperti anak step. Saya coba menyusui nya, namun tak lagi
kencang seperti sebelumnya, anak saya tanpa lemas, dia seperti tidak mengenal
putting saya, saya perhatikan betul-betul wajahnya, pipi yang semula tembem
cenderung tirus, kecil sekali mukanya, ini seperti bukan Syira yang kemarin, terlihat
lemah dan tak saya kenali lagi. Allohu Akbar, ingin rasanya saya menjerit,
namun tertahan ditenggorokan, tak kuasa lagi saya melihatnya, saya serahkan
kembali kepada perawat.
Saya keluar ruangan, berpegangan
tangan erat dengan suami yang sudah hampir seminggu memutuskan tidak bekerja
dahulu dan memilih menemani saya, kita berurai air mata, cemas akan keadaan si
kecil…
Malam harinya saya berfikir tak
karuan, tiba-tiba saya dipanggil oleh dokter jaga. Saya lihat tingkahnya tanpa
cemas, dan memulai perkataan
“bu, tadi anaknya tiba-tiba panas
ya? Sekarang anaknya muntah cairan lambung, tapi sekarang sedang ditangani kok
bu”
Terpaku saya dengan perkataannya,
apalagi ini Ya Rabb, dalam hati saya, namun tetap berusaha tenang.
“dok, saya mau tanya, hasil tes
darah itu hasilnya gimana ya?” saya baru keinget tenatang hasil lab darah yang
belum dilaporkan kepada saya
“bentar bu, saya hubungi dulu
dokter anaknya ya bu, ibu tunggu dulu saja diluar” jawab dokter tersebut sambil
memegangi handphone.
Saya pun keluar ruangan, mama
saya bertanya kenapa, sayapun menjawab seadanya yang dikatan dokter tersebut.
Semalaman saya tidak dipanggil lagi oleh dokter tersebut, saya sengaja tidak
menghubungi suami yang tidur dibawah, karena tidak ingin mengganggunya
beristirahat, saya tahu tidurnya pasti tidak nyaman, tidur dikursi besi
berselimutkan angina malam.
(bersambung...)
0 komentar:
Posting Komentar