saya
dipersilahkan menunggu diluar dan dijelaskan hanya boleh nengok bayi 2 kali
sehari di jam besuk dan hanya orang tuanya saja,
menunggu pasien diluar ruangan dan kami ga bawa apa-apa, tikarpun kita gabawa
karena ga persiapan, tepat pukul 11 malam, diluar banyak keluarga pasien juga
yang tidur seadanya, ya Rabb… saya rela tidur dilantai tanpa alas asal anak
hamba sembuh.
Sepanjang malam saya hanya menangis,
sesekali tertidur tapi ketika terbangun saya menangis kembali, terpisah dengan
anak walau beda ruangan ah..berat sekali rasanya, apalagi disebutkan bahwa anak
saya sakit. Begini rasanya sayangnya ibu terhadap anak,. Pagi pun tiba, suami
pun datang ke RSUD, setelah perjalanan dari bandung berangkat setelah subuh,
takuasa rasanya melihat dia, kami hanya terdiam sesekali suami mengajak
bercanda dan menenangkan agar saya tidak menangis terus, jam besuk pun tiba,
awalnya saya tida berani melihat anak saya, ga kebayang, lemas pasti badan ini,
lama-kelamaan setelah suami melihat sayapun dibopong keruangan, Ya Rabb..
menangis sesegukan di depan incubator Syira, baby Syira dipasang oksigen, di
infus, dan dimasukan alat yang ternyata itu
OGT atau orogastric tube (adalah selang kecil
yang fleksibel terbuat dari plastik yang dimasukkan dari mulut menuju lambung).
Hari itu hari libur dokte yang berkunjung adalah dokter jaga, karena saya baru
pertama kali ke RSUD maka tidak tahu perihal jadwal dan aturan kunjungan dokter,
pantas saja dokter anak yang memeriksa si bayi semalam tidak ada, ah baiklah
saya bersabar sehari ini,
Hari kedua mungkin saja dokternya telah
memeriksa, tapi begitulah di RSUD sana ternyata ketika ada dokter visit, kita
sebagai penunggu pasien tidak diberitahu, sehingga kami minim sekali
berinteraksi dengan dokter, atau bahkan untuk konsultasi tentang pasien, yang
jelas pada hari kedua itu anak saya diminta ditemani keruangan RONTGEN untuk
diperiksa lambungnya, yang menemani bayi adalah mama dan suami saya, setelah
itu perawat meminta izin untuk mengambil darah bayi untuk dicek di lab, dan
hasilnya besok pagi.
Hari ketiga saya mulai terbiasa dengan pola perawatan di RSUD, ketika saya bertemu perawat, saya meminta agar dipertemukan dengan dokter anak, yaitu Dr. Ati yang sejak awal memeriksa si bayi.
Sembari jadwal besuk saya tunggu
terus dokternya di ruangan bayi, dan ga lama dokter tersebut menghampiri saya,
“iya, ada apa bu?” tanya dokter
dengan logat jawanya
“ini dok anak saya, yang pertama
baba da darahnya, sekarang kondisinya gimana ya? Trus sakit apa?, hasil
darahnya gimana udah keluar belum?”
“hasil darah belum keluar bu,
nanti diambil darah lagi soalnya
kemaren cepet kering darahnya, kemaren cek rontgen tidak apa-apa kok bu,
anaknya normal, bab nya juga sudah agak mendingan, paling saya liat ada titi
kuning di matanya, dicek bilirubin dulu ya bu, nanti di sinar sehari atau dua
hari, senin kayaknya udah boleh pulang kalo normal”
Alhamdulillah senang sekali, senyum-senyum
sendiri sambil liatin si bayi..saya tidak mempermasalahkan hasil darah karena
senang denger kata-kata dokter itu. Sambil keluar ruangan, saya pun
berpesan lagi kepada perawat kalo besok ada visit dokter lagi, saya mau konsul. Jam besuk sore pun tiba, saya
bertanya kepada perawat menanyakan hasil cek darah si bayi
“teh,hasil cek darah atas nama
bayi adiartanti udah keluar belum ya?”
“bentar bu, saya cek dulu”
perawat sambil membolak balik buku
catatan pasien, entah tidak bisa membaca, belum ada, atau ada apa, sambil terus
melihat-lihat daftar nama perawat menjawab :
“bu, besok aja ya tanya langsung
ke dokter hasil cek darahnya”
Agak kecewa sih disitu, tapi gak
apa-apa mungkin memang hasilnya belum keluar, saya ngeri aja kalau anak saya
harus diambil darah lagi untuk ketiga kalinya kalau-kalau perawat tidak segera
mengecek di lab (darah cepat kering seperti sebelumnya)
Saya sempat menanyakan kepada
perawat lain, bagaimana kondisi anak saya, dan perawat tsb menjawab bahwa
perkembangannya baik, babnya cenderung normal dan darah juga tidak banyak
seperti pas awal masuk, malah perawat tersebut memperlihatkan bab di pempers
bayi saya. Lega rasanya, ingin cepat-cepat memeluk bayi ini dan pulang kerumah.
Sebetulnya kakak saya menyarankan agar anak saya dirawat di Tasik saja, karena
ibu temannya pernah mengalami hal tdk mengenakkan ketika dirawat disana, tapi
karena dokter anak tidak meminta dipindah dan tiap hari perawat bilang
perkembangan anaknya bagus, saya lebih milih stay disana, ga tega juga kalo anak saya nanti dilepas alat dan
dipasang laagi di Tasik.
Hari berikutnya, dikunjungan pagi
saya berkomunikasi dengan dokter anak, ternyata dokter anaknya beda, buka
dokter Ati yang sebelumnya, usut punya usut menurut keluarga pasien lain yang
lebih lama dirawat ternyata itu dokter baru. sayapun bertanya, mengulang
kembali pertanyaan yang sama,
“dok, anak saya gimana
keadaannya? Kemaren katanya ada kuning sedikit tinggal disinar aja, tapi kok
saya lihat anak saya ga diapa-apain ya? Ga disinar?”
“anak ibu buka ga diapa-apain bu,
Cuma kita perlu observasi aja dulu, tapi kalo bilirubinnya ga terlalu tinggi,
ibu mau bawa pulang anaknya juga ga apa-apa bu, tinggal pakai surat pernyataan
aja, nanti bias dijemur pagi dirumah”
“oke, terus sebetulnya anak saya
sakit apa ya dok? Apa mungkin karena alergi susu formula? Karena malam
sebelumnya dikasih sufor?”
“mungkin saja bu, dikeluarga ada
yang punya riwayat alergi engga?” tanya dokter itu
“ga ada dok, semua sehat-sehat
aja” “apa karena faktor hormonal ya dok? Soalnya tetangga juga ada yang anak
perempuannya keluar dara, tapi lewat vagina”
“engga, ga ada yang seperti itu”
jawab dokter tersebut
“dok boleh gak sih netein bayi
langsung?”
“boleh kok bu” jawab dokter dan
langsung bertanya kepada perawat, mengapa anak saya dipasang OGT? Dan yang
membuat terkejut adalah jawaban perawat
“soalnya anaknya males nyusu dok”
Deg, setau saya dari awal lahir
anak saya kuat banget nyusunya, malah tiap besuk perawat sering bilang kalo
anaknya nyusunya kuat makanya saya harus rajin-rajin mompa asi, saya hanya
mancing dokter aja ingin tau alasan kenapa dipasang OGT, karena sebetulnya saya
tidak akan bisa memberi asi langsung karena anaknya dipasang infus, lebih masuk
akal bila jawabannya karena dipasang infus maka saya tidak dapat memberi asi langsung.
Oke baiklah, walau tetap saya
tidak menemukan jawaban tentang sakit apa anak saya, dan jawaban “anaknya males
nysusu” setidaknya anak saya terlihat membaik. Apalagi saat itu anak saya tidak
sepenuhnya minum susu lewat selang, saya boleh memberi susu lewat kapas
sedikit-sedikit, dan baby Syra tidak ada bedanya seperti dirumah, nyusunya kuat dan kenceng banget.
Sore harinya, saat jam besuk
kedua disore hari, ternyata tanpa pemberitahuan dari dokter ataupun perawat
anak saya sudah dipindah ke tempat bayi dengan disinar biru, kaget juga sih
katanya boleh ga disinar, tapi ya kalau itu yang terbaik tidak apa-apa, toh
yang lebih faham kan dokter. Suami berkonsultasi dengan perawat dan diberitahu
bahwa saya harus “puasa susu dan semua yang mengandung sapi” karena khawatir
bayinya alergi protein susu dan bisa bersumber dari asi ibu juga.
Aneh memang, masa iya, produk
tebaik dari Alloh SWT. Bisa menyebabkan alergi bahkan sampai sakit, tapi apa
dayalah saya yang tidak berilmu ini, saya mengiyakan dan “puasa”.
Malam harinya, inilah awal dari rasa cemas
seorang ibu, jika orang bilang ikatan antara ibu dan anak itu kuat. Ya! Saya
membuktikannya sendiri, karena ruangan bayi dengan tempat saya tidur
bersebelahan, hanya
disekat oleh jendela yang tertutup gorden dan saya tahu pasti tempat bayi saya
disinar, ketika mendengar bayi menangis saya sudah pastikan bahawa itu adalah
tangisan bayi saya, sepanjang malam saya perhatikan bayi saya menangis, namun
tak satupun perwat jaga yang menghampirinya (terlihat dari bayangan lampu dari
balik gorden jendela). Risaulah hati saya, saya berbisik-bisik dengan mama yang
saat itu menemani saya tidur, suami saya tidur di kursi bawah diluar gedung
karena ruangan dekat bayi sudah penuh dengan keluarga pasien. Tak lama terlihat
bayangan perawat menghampiri, dan anak saya berhenti menangis, lega rasanya.
Jika bias, saya ingin sekali mengetuk jendela agar perawat peka, tapi saat itu
tengah malam, dan saya gamau bersikap gegabah.
(bersambung...)
0 komentar:
Posting Komentar